Siswa Diniyah Athfal Ponpes Shidiqiin Wara`

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Niat dari Pendiri dan Pengasuh adalah Jihad

Melalui PP Shidiqiin Wara`Pendiri dan Pengasuh PPSW berniat Jihad di Jalan Allah meninggikan Kalimat Allah.

Halangan dan Tantanga Dakwah PP Shidiqiin Wara` 3

Setiap Halangan dan Tantangan dilalui dengan Sabar sehingga PPSW berjalan puluhan tahun.

Kyai Muhammad Syechan Pendiri PP Shidiqiin Wara`

Tenaga.Pikiran dan Harta untuk Dakwah di Lingungan Purwojati Melalui PP Shidiqiin Wara`.

Pager Bangsa-Pengajian Gerakan Kebangsaan 5

Pager Bangsa diadakan pertama kali untuk anggota Pemuda Pakarti Purwojati dalam ikut membangun NKRI.

Jumat, 26 Februari 2016

Sejarah Kesultanan Banten

KESULTANAN  BANTEN
Sejarah Kesultanan Banten Kerajaan Islam di Indonesia

Kerajaan Banten berawal sekitar tahun 1526, ketika kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin atau Fatahillah yang merupakan putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut dengan mendirikan benteng yang dinamakan Surosowan, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Banten.

Pada awalnya kawasan Banten dikenal dengan nama Banten Girang yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Tujuan pasukan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut untuk perluasan wilayah sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian diicu oleh adanya kerjasama antara Sunda-Portugis dalam bidang ekonomi politik, hal ini dapat membahayakan kedudukan kerajaan demak selepas kekalhaan mereka mengusir portugis dari malaka tahun 1913.  Atas perintah Sultan Trenggono, Fatahillah melakukan penyerangan dan penkalukan Sunda Kelapa tahun 1527, yang pada saat itu masih meruupakan pelabuhan utama Kerajaan Sunda.

Selain mulai membangun benteng ertahana di Banten, Fatahillah juga melakukan perluasan kekuasaan ke daerah penfhasil Lada di Lampung dan melakukan kontak dagang dengan Raja Malangkabu ( Minangkabau, Kerajaan Indrapura), Sultan Munawar Syah dan dianugrahi keris oeh raja tersebut.
Setelah Sultan Trenggono wafat, kerajaan Demak mulai mundur dan Banten melepaskan diri dan membuat kerajaan mandiri. Tahun 1570 Fatahillah wafat dan digantikan anaknya yaitu Pangeran Yusuf.
Pada masa Pangeran Yusuf, tahun 1579 daerah daerah dibawah Pajajaran ditaklukan dan membuat kubu kubu pertahanan. Tahun 1580, Pangeran Yusuf wafat dan digantikan oleh puteranya yaitu Maulana Muhammad. Tahun 1596, Maulana Muhammad melancarkan serangan ke Palembang yang saat itu diperintah oleh Ki Gede ing Suro (1572-1627) yang merupakan penyiar agama islam asal Surabaya yang kala itu kerajaan Palembang lebih setia kepada Mataram dan merupakan saingan kerjaan Banten. Kerajaan Palembang dapat dikepung dan hampir dapat ditaklukan, namun tiba-tiba Maulana Muhammad terkena tembakan musuh dan meninggal. Oleh karena itu ia disebut Prabu Seda ing Palembang. Akhirnya tentara Banten mundur.

Putra Maulana Muhammad yang bernama Abumufakir Mahmud Abdul Kadir, masih kanak-kanak. Pemerintahan digantinkan oleh sang Mangkubumi. Mangkubumi berhasil disingkirkan Pangeran Manggala. Setelah Abumufakir cukup dewasa, pemerintahan sepenuhnya dipegang oleh Abumufakir.
Tahun 1596 Belanda datang ke pelabuhan Banten untuk yang pertama kali. Lalu mereka melakukakn hubungan dagang dengan Banten. Namun Belanda bersikap angkuh dan sombong, bahkan berbuat kekacauan. Banten pun mengusir Belanda. Dua tahun kemudian Belanda datang lagi dengan sikap yang baik, sehingga dapat berdagang di Banten dan Jayakarta.

Abad ke 17 banten mencapai masa keemasan. Setelah Abumufakir wafat, ia digantikan oleh Abumali Achmad. Setelah itu digantikan oleh Sultan yang terkenal yaitu Sultan Abdulfattah atau  Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah tahun 1651-1682.

Pada masa akhir pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa timbul konflik dalam istana. Raja muda Sultan Haji dihasut oleh VOC untuk menentang Sultan Ageng Tirtayasa dengan melakukan politik adu domba. Berakhirnya kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa membuat semakin kuatnya VOC. Sedangkan raja raja pengganti Sultan Ageng Tirtayasa bukanlah raja raja yang kuat. Maka berakhirlah kerajaan Banten.sumber: http://history-xscience1.blogspot.co.id/2014/05/sejarah-kesultanan-banten-kerajaan.html dan http://blog-ipah.blogspot.co.id/2012/05/sejarah-kerajaan-banten.html

Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama pasukan Demak menaklukkan penguasa lokal di Banten, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak.
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.

Daftar pemimpin Kesultanan Banten
a.  Sunan Gunung Jati
b.  Sultan Maulana Hasanudin 1552 – 1570
c.   Maulana Yusuf 1570 – 1580
e.  Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 – 1640
f.    Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad 1640 – 1650
h.  Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 – 1687
i.    Sultan Yahya 1687 – 1690
j.    Sultan Zainul Abidin 1690 – 1733
k.   Sultan Arifin 17331748
l.    Halimin
m. Abul Nazar Mohammad Arif Zainul Asikin 17531777

Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramawt, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husayn.
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyi Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa ditemui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji buat seluruh umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setalah Uwaknya wafat.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirianKesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan namaWalisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan danGaluh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di Pulau Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayahCibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal Penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagai Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten1631 – 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelarPangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
Riwayat Perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 –1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOCmenerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
SILSILAH SULTAN BANTEN
SYARIF HIDAYATULLAH – SUNAN GUNUNG JATI Berputera :
1. Ratu Ayu Pembayun.
4. Maulana Hasanuddin
2. Pangeran Pasarean
5. Pangeran Bratakelana
3. Pangeran Jaya Lelana
6. Ratu Wianon

7. Pangeran Turusmi
PANGERAN HASANUDDIN – PANEMBAHAN SUROSOWAN (1552-1570) Berputera :
1. Ratu Pembayu
8. Ratu Keben
2. Pangeran Yusuf
9. Ratu Terpenter
3. Pangeran Arya Japara
10. Ratu Biru
4. Pangeran Suniararas
11. Ratu Ayu Arsanengah
5. Pangeran Pajajara
12. Pangeran Pajajaran Wado
6. Pangeran Pringgalaya
13. Tumenggung Wilatikta
7. Pangeran Sabrang LorPangeran
14. Ratu Ayu Kamudarage

15. Pangeran Sabrang Wetan
MAULANA YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE (1570-1580) Berputra :
1. Pangeran Arya Upapati
8. Ratu Rangga
2. Pangeran Arya Adikara
9. Ratu Ayu Wiyos
3. Pangeran Arya Mandalika
10. Ratu Manis
4. Pangeran Arya Ranamanggala
11. Pangeran Manduraraja
5. Pangeran Arya Seminingrat
12. Pangeran widara
6. Ratu Demang
13. Ratu Belimbing
7. Ratu Pecatanda
14. Maulana Muhammad
MAULANA MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN (1580-1596) Berputra :
1. Pangeran Abdul Kadir

SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD ‘ABDUL KADIR KENARI (15961651) Berputra:
1. Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota)
19. Pangeran Arya Wirasuta
2. Ratu Dewi
20. Ratu Gading20.
3. Ratu Ayu
21. Ratu Pandan
4. Pangeran Arya Banten
22. Pangeran Wirasmara
5. Ratu Mirah
23. Ratu Sandi
6. Pangeran Sudamanggala
24. Pangeran Arya Jayaningrat
7. Pangeran Ranamanggala
25. Ratu Citra
8. Ratu Belimbing
26. Pangeran Arya Adiwangsa
9. Ratu Gedong
27. Pangeran Arya Sutakusuma
10. Pangeran Arya Maduraja
28. Pangeran Arya Jayasantika
11. Pangeran Kidul
29. Ratu Hafsah
12. Ratu Dalem
30. Ratu Pojok
13. Ratu Lor
31. Ratu Pacar
14. Pangeran Seminingrat
32. Ratu Bangsal
15. Ratu Kidul
33. Ratu Salamah
16. Pangeran Arya Wiratmaka
34. Ratu Ratmala
17. Pangeran Arya Danuwangsa
35. Ratu Hasanah
18. Pangeran Arya Prabangsa
36. Ratu Husaerah

37. Ratu Kelumpuk

38. Ratu Jiput

39. Ratu Wuragil
PUTRA MAHKOTA SULTAN ‘ABDUL MA’ALI AHMAD, Berputera:
1. Abul Fath Abdul Fattah
8. Pangeran Arya Kidul
2. Ratu Panenggak
9. Ratu Tinumpuk
3. Ratu Nengah
10. Ratu Inten
4. Pangeran Arya Elor
11. Pangeran Arya Dipanegara
5. Ratu Wijil
12. Pangeran Arya Ardikusuma
6. Ratu Puspita
13. Pangeran Arya Kulon
7. Pangeran Arya Ewaraja
14. Pangeran Arya Wetan

15. Ratu Ayu Ingalengkadipura
SULTAN AGENG TIRTAYASA -’ABUL FATH ‘ABDUL FATTAH (1651-1672) Berputra :
1. Sultan Haji
16. Tubagus Muhammad ‘Athif
2. Pangeran Arya ‘abdul ‘Alim
17. Tubagus Abdul
3. Pangeran Arya Ingayudadipura
18. Ratu Raja Mirah
4. Pangeran Arya Purbaya
19. Ratu Ayu
5. Pangeran Sugiri
20. Ratu Kidul
6. Tubagus Rajasuta
21. Ratu Marta
7. Tubagus Rajaputra
22. Ratu Adi
8. Tubagus Husaen
23. Ratu Ummu
9. Raden Mandaraka
24. Ratu Hadijah
10. Raden Saleh
25. Ratu Habibah
11. Raden Rum
26. Ratu Fatimah
12. Raden Mesir
27. Ratu Asyiqoh
13. Raden Muhammad
28. Ratu Nasibah
14. Raden Muhsin
29. Tubagus Kulon
15. Tubagus Wetan

SULTAN ABU NASR ABDUL KAHHAR – SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :
1. Sultan Abdul Fadhl
6. Ratu Muhammad Alim
2. Sultan Abul Mahasin
7. Ratu Rohimah
3. Pangeran Muhammad Thahir
8. Ratu Hamimah
4. Pangeran Fadhludin
9. Pangeran Ksatrian
5. Pangeran Ja’farrudin
10. Ratu Mumbay (Ratu Bombay)
SULTAN ABUDUL FADHL (1687-1690) Berputra :
- Tidak Memiliki Putera

SULTAN ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN(1690-1733 ) Berputra :
1. Sultan Muhammad Syifa
31. Raden Putera
2. Sultan Muhammad Wasi’
32. Ratu Halimah
3. Pangeran Yusuf
33. Tubagus Sahib
4. Pangeran Muhammad Shaleh
34. Ratu Sa’idah
5. Ratu Samiyah
35. Ratu Satijah
6. Ratu Komariyah
36. Ratu ‘Adawiyah
7. Pangeran Tumenggung
37. Tubagus Syarifuddin
8. Pangeran Ardikusuma
38. Ratu ‘Afiyah Ratnaningrat
9. Pangeran Anom Mohammad Nuh
39. Tubagus Jamil
10. Ratu Fatimah Putra
40. Tubagus Sa’jan
11. Ratu Badriyah
41. Tubagus Haji
12. Pangeran Manduranagara
42. Ratu Thoyibah
13. Pangeran Jaya Sentika
43. Ratu Khairiyah Kumudaningrat
14. Ratu Jabariyah
44. Pangeran Rajaningrat
15. Pangeran Abu Hassan
45. Tubagus Jahidi
16. Pangeran Dipati Banten
46. Tubagus Abdul Aziz
17. Pangeran Ariya
47. Pangeran Rajasantika
18. Raden Nasut
48. Tubagus Kalamudin
19. Raden Maksaruddin
49. Ratu SIti Sa’ban Kusumaningrat
20. Pangeran Dipakusuma
50. Tubagus Abunasir
21. Ratu Afifah
51. Raden Darmakusuma
22. Ratu Siti Adirah
52. Raden Hamid
23. Ratu Safiqoh
53. Ratu Sifah
24. Tubagus Wirakusuma
54. Ratu Minah
25. Tubagus Abdurrahman
55. Ratu ‘Azizah
26. Tubagus Mahaim
56. Ratu Sehah
27. Raden Rauf
57. Ratu Suba/Ruba
28. Tubagus Abdul Jalal
58. Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)
29. Ratu Hayati

30. Ratu Muhibbah

SULTAN MUHAMMAD SYIFA’ ZAINUL ARIFIN (1733 – 1750) Berputra :
1.Sultan Muhammad ‘Arif
7. Ratu Sa’diyah
2. Ratu Ayu
8. Ratu Halimah
3. Tubagus Hasannudin
9. Tubagus Abu Khaer
4. Raden Raja Pangeran Rajasantika
10. Ratu Hayati
5. Pangeran Muhammad Rajasantika
11. Tubagus Muhammad Shaleh
6. Ratu ‘Afiyah

SULTAN SYARIFUDDIN ARTU WAKIL (1750 – 1752 )
- Tidak Berputera

SULTAN MUHAMMAD WASI’ ZAINUL ‘ALIMIN (1752-1753)
- Tidak Berputera

SULTAN MUHAMMAD ‘ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753-1773) Berputra :
1. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin
4. Pangeran Suralaya
2. Sultan Muhyiddin Zainusholiohin
5. Pangeran Suramanggala
3 . Pangeran Manggala

SULTAN ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN (1773-1799) Berputra :
1. Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin
5. Pangeran Musa
2. Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II)
6. Pangeran Yali
3. Pangeran Darma
7. Pangeran Ahmad
4. Pangeran Muhammad Abbas

SULTAN MUHYIDDIN ZAINUSHOLIHIN (1799-1801) Berputra :
1. Sultan Muhammad Shafiuddin

Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

Diambil dari buku : Catatan Masa Lalu Banten – Halwany ‘n Mudjahid Chudari

Kamis, 25 Februari 2016

Tantangan Dakwah PP Shidiqiin Wara` Beberapa Generasi

PP. Shidiqiin Wara` Tantangan Dakwah PP Shidiqiin Wara` Beberapa Generasi
Pendiri NU-KH. Hasyim Asy`ari dalam PPSWA YGNI Purwojati Banyumas
Keberadaan Ponpes Shidiqiin Wara` Purwojati selalu mengalami pasang surut. Ponpes telah melakukan kegiatan dakwah sejak tahun 1930-an (periode pertama) yang dikelola oleh Kyai Hasan Marta (Sanmarta).

Setelah itu ponpes diteruskan oleh menantunya yaitu Kyai Muhammad Syechan sampai tahun 1980-an (Periode kedua) lalu dibagi menjadi dua kelompok. yaitu kelompok muda dan anak dikelola oleh KH. Suharto dan untuk golongan tua dan kajian tasawuf dikelola oleh Kyai Muhammad Syechan sendiri.
Hal berjalan selama kurang lebih 10 tahun. Lalu diserahkan semua pengelolaan dakwah di pesantren. Sehingga mulai awal tahun 1990 dikelola oleh KH.Suharto, AMd. (Periode ketiga)

Pesantren pada awal berdiri bernama pesantren Amart hal ini disesuaikan dengan nama pendirinya,lalu diubah sejab berganti kepengelolaan oleh Kyai Muhammad Syechan menjadi Anaqsabandi Shidiqiin. Setelah itu diubah menjdai Wakafiyah Al-Hidayah dan diganti lagi sejak tahun 2005 oleh Raras Wuri, SPdI, MPdI. (Periode keempat) menjadi nama PP> Shidiqiin Wara`.

Penamaan Shidiqiin itu mengambil makna agar santri-santri menjadi orang benar dan pembela kebenaran dan keadilan serta berhati-hati dalam berbicara, berbuat dan bergaul. Metode dakwah pesantren dengan dilakukan melalui apa saja, siapa saja dan bagaimana saja caranya asal tujuan pengembngan dakwah sambil adanya evaluasi dalam strategi dan metode dakwah tersebut.

Melalui pengelolaan Raras Wuri, Pesantren membuat dan melakukan berbagai kegiatan dan bentuk organisasi untukmempermudah dakwah dan metode dakwah agar masyarakat tidak jenuh termasuk penguasaan di dunia maya (internet).Sebagaimana diketahui bahwa dakwah PPSWA melalui dunia maya sangat dikenal masyarakat dimaksudkan untuk memberikan langsung pendidikan kepada msyarakat, juga sebagai sarana untuk klarifikasi kepada msyarakat yang selama ini terkena fitnah dan propaganda buruk disamping itu untuk membangkitkan kepedulian masyarakat akan pentingnya keberadaan pesantren sebagai benteng moral dan tindak anarkisme, separatisme dan terorisme.

Berbagaia organisasi yang dikelola maupun dibidani oleh pesantren juga oleh Yayasan Guru Ngaji Indonesia antara lain FKGNI, Pemuda Pakarti, Majelis Pager Bangsa, Klinik aternatif Karomah Maunah, Berbagai Madin dan TPQ serta Majelis Taklim khusunya bernama Shidiqiin Wara`, Kelompok tani, PKBM, TBM Media Cerdik, Kelompok Band, seni dan olah raga serta lain-lainnya (KBO SPORT, Tempur, . Semua kegiatan tersebut merupakan bentuk kepedulian pesantren yang berdiri puluhan tahun mengabdi kepada bangsa dan negara NKRI berdasarkan moral pancasila dan UUD45

Dari periode pertama sampai keempat ini pesantren memiliki berbagai kekuatan, kelemahan kesempatan, dan tantangan/rintangan. dari keempat hal tersebut faktor yang terbesar adalah tantangan. Tantangan yang dimaksud disini adalah keberadaan pesatren selalu dimusuhi oleh orang-orang yang tidak senang dakwah dari pesantren tersebut. Sampai saat ini juga demikian, dengan memakai organisasi kelompok-kelompok tersebut memberikan propaganda bahkan sampai fitnah untuk tidak belajar di pesantren Shidiqiin Wara`.

Namun demikian kami pengurus akan tetap berikhtiyar dan berusaha untuk selalu istiqomah dalam berdakwah memakai manhaj tersendiri yang sudah dilaksankan dari jaman sebelum kemerdekaan Indonesia. Sehingga kami sudah banyak berjuang untuk pembangunan dan pendidikan khususnya diwilayah kami.

Rabu, 24 Februari 2016

Pagerbangsa YGNI: Dalil Kebangsaan-Bernegara #PPSWA

Ponpes Shidiqiin Wara`Purwojati. Pagerbangsa YGNI: Dalil Kebangsaan-Bernegara #PPSWA
Raras WM, SPdI,MPdI-Pemuda Pakarti YGNI Purwojati
Raras WM, SPdI,MPdI-Pemuda Pakarti YGNI Purwojati
PENGHINA PANCASILA HRS DITINDAK  (gotik dkk)

Plato [427-347 SM.], filsuf Yunani Kuno memandang model kehidupan negara-kota lah yang paling ideal. Negara ideal tidak boleh terlalu gemuk, cukup seluas kota agar mudah melakukan perencanaan, pengaturan, dan pendisiplinan.[1] Al-Farabi [w. 874 M.], sebagai wakil filsuf dari dunia Islam menawarkan konsep Madinah Fadhilah [Kota Utama] di mana seluruh kehidupannya didasarkan pada rasionalisasi [al-‘aql] yang menyatukan seluruh elemen masyarakatnya. Tanpa mempertimbangkan besaran wilayah suatu negara. al-Mawardi [w. 1058 M.], ahli hukum tata negara klasik menyatakan sebuah negara harus disatukan oleh suatu ideologi yang berwibawa dan diterima-patuhi oleh seluruh elemen yang hidup di dalamnya. Ideologi itu bernama agama [al-din al-mutha’].

Awalnya, konsep kebangsaan menuntut kesatuan asal; ras, bahasa, budaya, filosofi berfikir dan bahkan mungkin keyakinan. Negeri asal konsep ini muncul memang demikian adanya. Setiap suku bangsa memiliki lembaga politiknya sendiri. Sehingga timbul negeri-negeri kecil yang terpisah-pisah, independen, antara satu dan lainnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan konteks Indonesia. Ribuan suku yang memiliki tradisi, adat-istiadat, filosofi dan keyakinan yang berbeda dipaksa-persatukan dalam sebuah negara kesatuan bernama NKRI. Hal ini tidak dapat disebut anomali dari konsep kebangsaan. Karena, konsep kebangsaan yang diambil adalah model Ernest Renan, seorang filsuf kawakan Prancis. Suatu kehidupan yang dibangun di atas dasar keinginan untuk hidup bersama dalam satu wadah negara. Yang boleh jadi diisi oleh kelompok masyarakat yang berbeda secara etnis, bahasa, dan keyakinan. Di sinilah problem keragaman kebudayaan itu timbul. Seseorang atau suatu masyarakat dituntut membiasakan diri menggunakan lebih dari satu kebudayaan. Demikianlah buku Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti kebahasaan terhadap konsep multikulturalisme. Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (Kesatuan/ penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/ 1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan. Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu') ajarannya. Artinya, kitab suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan. Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48: Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja). Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya.


Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina' limtina', atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan. Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan. Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing. Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105). Kalimat "dan berselisih" digandengkan dengan "berkelompok" untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa.


Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat. Dengan demikian, terjawablah pertanyaan pertama itu yakni Al-Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan --yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah-- hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.


Islam mengakui bahwa
perbedaan adalah suatu hal yang alami bagi manusia, dan setiap umat harus beriteraksi dengan perbedaan sesuai kaidah, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” 
(QS. al-Hujuraat: 13) Allah Swt telah menciptakan manusia berbeda-beda bangsa, budaya dan bahasanya, akan tetapi pada dasarnya mereka adalah “umatan
wahidatan” atau umat yang satu, maksudnya, perbedaan mereka tidak menghapuskan kesatuan kemanusiannya.

Rasulullah Saw bersabda,
“barangsiapa yang menyakiti kaum dzimmi (orang yang berada dalam lindungan kaum mukmin), maka ia telah meyakitiku.” Sementara jika pihak lain berasal dari kaum kafir, maka, hubungan kita dengan mereka harus berdasarkan kaidah “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Dalam setiap kondisi tersebut, sesungguhnya hubungan kaum muslimin dengan pihak lain bisa dirangkum dalam
sebuah hadits Rasulullah Saw “Seorang muslim adalah orang yang membuat manusia lain selamat dari tangan dan lisannya.” 

Dalam konteks kesatuan berbangsa inilah, maka para pendiri Negara ini sejak awal telah merumuskan empat pilar kebangsaan agar Negara ini menjadi Negara yang kuat dan dapat
berdiri dengan tegak dan bisa bersaing dengan Negara lainnya, yakni : Pancasila, UUDNRI, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.

DUKUNG PENDIRIAN MARKAS YGNI BANYUMAS-PROGRESS REPORT: DANA TERKUMPUL 25,6 JUTA DARI 350 JUTA-SELURUH DANA DARI BP_MAKMUR

Logo Baru YGNI Banyumas

Logo Baru YGNI Banyumas
Perubahan Logo Baru YGNI Banyumas